PENGETAHUAN TENTANG KONSEP MANUSIA
1.
Konsep Manusia
dalam Sosialisme
Dalam Buku Materi Induk Pengkaderan Muhammadiyah disebutkan bahwa
sosialisme merupakan istilah umum untuk semua doktrin ekonomi yang menatap
kemutlakan milik tersebut untuk kesejahteraan umum. Dalam arti ini, sosialisme
mencakup banyak jenis teori ekonomi; ada yang berpendapat bahwa hanya
perusahaan umum serta sumber alam saja yang seharusnya dimiliki oleh
negara, sampai sosialisme Marxis yang radikal dan lebih lanjut sampai
batas-batas permulaan anarkisme. Sosialisme juga suatu ajaran politik yang menolak
susunan masyarakat yang bersendikan milik perseorangan atas alat-alat produksi;
ia memihak golongan miskin dan tidak berpunya (proletar).
Namun demikian sosialisme memiliki pandangan-pandangan yang khas tentang
manusia dan masyarakat pada umumnya, yang kelak pada suatu titik tolak tertentu
akan membedakan dirinya dengan idealisme kapitalis. Secara spesifik, pandangan
sosialisme tentang manusia tersebut diwakili oleh filsafat materialisme.
Tokoh-tokohnya antara lain adalah Anaximenes ( 585 -528), Anaximandros ( 610
-545 SM), Thales ( 625 -545 SM), Demokritos (kl.460 -545 SM), Thomas Hobbes (
1588 -1679), Lamettrie (1709 -1715), Feuerbach (1804 -1877), H. Spencer (1820
-1903), dan Karl Marx (1818 -1883).
Materialisme merupakan faham atau aliran yang menganggap bahwa dunia ini
tidak ada selain materi atau nature (alam). Sebagaimana
diutarakan oleh Ludwig Feuerbach, hanya alamlah yang ada. Oleh karena itu
manusia adalah makhluk alamiah. Segala usaha manusia didorong oleh nafsu
alamiah yakni dorongan untuk hidup. Hal lain yang menjadi ciri khas
materialisme adalah bahwa yang terpenting dari manusia bukanlah pada akal atau
roh—sebagaimana diyakini oleh fisafat idealism ala kapitalisme—melainkan pada
dimensi usahanya. Pengetahuan hanyalah alat guna menjadikan manusia itu
berhasil. Kebahagiaan manusia dapat dicapai di dalam dunia ini. Oleh karena itu
agama dan segala hal metafisika harus ditolak.
Materialisme adalah paham dalam filsafat yang menyatakan bahwa hal yang
dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi. Pada dasarnya semua hal terdiri
atas materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi material. Sehingga dalam
memandang manusia adalah tak lebih dari kumpulan materi, tubuh atau daging
semata, serta menafikan keberadaan ruh atau jiwa sebagaimana dikenal dalam
Islam. Akibatnya, kebutuhan manusia berikut kesenangan-kesenangannya pun
senantiasa diukur dengan ukuran-ukuran yang bersifat material, kebendaan dan
sebagainya. Materialism berpendapat bahwa alam ini tidak diciptakan oleh Tuhan,
sebagaimana diakui dalam Islam, namun tercipta melalui proses sebab akibat yang
sepenuhnya bersifat materi.
Pada abad pertama masehi faham materialisme ini tidak mendapat tanggapan
yang serius, bahkan pada abad pertengahan, orang menganggap asing terhadap
faham materialisme ini. Baru pada jaman Aufklarung (pencerahan), materialisme
mendapat tanggapan dan penganut yang meluas. Salah satu faktor yang menyebabkannya
adalah bahwa orang merasa dengan faham ini menyimpan harapan-harapan yang besar
atas hasil-hasil ilmu pengetahuan alam. Selain itu, faham Materialisme ini
praktis tidak memerlukan dalil-dalil yang muluk-muluk dan abstrak, juga
teorinya jelas berpegang pada kenyataan-kenyataan yang jelas dan mudah
dimengerti. Kemajuan aliran ini mendapat tantangan yang keras dan hebat dari
kaum agama dimana-mana. Hal ini disebabkan lantaran faham Materialisme ini pada
gilirannya tidak mengakui adanya Tuhan (atheis).
Sebutan lain dari materialisme ini adalah naturalisme karena kepercayaanya
yang tinggi pada hukum alam, terutama kausalitas. Semua yang terjadi di dunia
ini terjadi karena adanya mata rantai sebab akibat. Alam ini tercipta melalui
proses sebab akibat, dan bukan merupakan penciptaan Tuhan. Manakala ada orang
memiliki karakter tertentu, misalnya, maka itu berkat pengaruh orang serta
kondisi lingkungan sekitarnya. Padahal, sebaliknya, dalam Islam jelas
dikemukakan bahwa manusia, alam dan seisinya ini diciptakan oleh Allah. Allah
berfirman: “Dialah pencipta langit dan bumi.” (QS. 6:101).
Dalam ayat lain dikemukakan: “Dan langit itu Kami bangun dengan
kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya.” (QS.5:
47).
Dalam ayat lainnya Allah menjelaskan bahwasanya langit dan bumi itu dulunya
satu. “Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya
langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami
pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup.
Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. 21: 30). Siang dan
malam juga tak luput sebagai bagian dari penciptaan-Nya. Allah SWT
berfirman: “Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari
dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.” (QS.
21: 33). Disebutkan pula dalam ayat yang lain bahwa matahari tidaklah diam,
tetapi bergerak dalam garis edar tertentu:“Dan matahari berjalan di tempat
peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS.
36: 38). Namun, meski demikian, Allah menyadari bahwa tanda-tanda alam tersebut
tak kunjung jua membuat orang beriman kepadanya, dan sebaliknya justru enggan
berfirman. Allah SWT berfirman, “Dan Kami menjadikan langit itu sebagai
atap yang terpelihara, sedang mereka berpaling dari segala tanda-tanda
(kekuasaan Allah) yang ada padanya.” (QS. 21: 32)
Marx, salah satu eksponen faham ini, selain berpendapat bahwa agama bagi
manusia tak lain tak bukan adalah sebuah candu, juga mengajukan satu narasi yang
ia sebut dengan alienasi. Menurutnya, manusia akan teralienasi manakala tidak
memiliki pekerjaan, karena pekerjaan lah yang membuat manusia meneguhkan serta
mengejawantahkan dirinya. Pekerjaan adalah kegiatan yang dengan itu manusia dapat menemukan
identitasnya. Jadi, hakikat manusia adalah bekerja (Homo laborans, homo
faber). Dari pandangan ini jelaslah bahwa titik tolak identitas manusia
terletak pada materi.
Memang, dapatlah dikatakan bahwa tujuan utama ajaran marxixme adalah
mendudukkan manusia (masyarakat atau kaum buruh) pada pusat kehidupan. Titik tekan
gagasan Marx adalah manusia. Secara teoritis, ia bermaksud menjunjung
tinggi manusia dan martabatnya. Untuk itu, maka perlu diadakan suatu revolusi
atau perombakan sistem sosial secara besar-besaran. Yang dengan itu diharapkan,
segala macam dan bentuk dehumanisasi, penindasan, ketidakadilan yang menurutnya
sumber utama penyebabnya adalah adanya penguasaan alat-alat produksi secara
pribadi oleh sekelompok kecil kelas pemilik modal (borjuis) segera dihapuskan.
Setelah itu, alat-alat produksi tersebut menjadi kepemilikan bersama yang
dikelola oleh negara. Dengan kepemilikan tersebut, alhasil, tidak ada lagi
sekelompok manusia yang menindas kelompok manusia lainnya, sehingga keadilan
dan kesejahteraan sosial akan tercapai. Pada gilirannya, nanti segenap umat
manusia telah dimanusiakan.
Sepintas lalu, seolah-olah dengan pandangan tersebut hendak memuliakan
manusia. Namun, sejatinya, dengan memandang manusia sebagai materi atau
kebendaan saja, sesungguhnya pandangan yang demikian telah mereduksi manusia,
khususnya dalam hal nilai-nilai spiritual.
2.
Konsep Manusia
dalam Kapitalisme
Kapitalisme secara umum adalah suatu paham yang berdasarkan kemodalan
dengan mengutamakan pemilik modal lebih utama dari pada kaum pekerja. Dalam
hidup ekonomi, merupakan asas dimana unsur material dari fator-faktor produksi
(tanah dan modal) berada pada tangan swasta dan motivasi terpenting dalam
berproduksi semata-mata untuk mencapai keuntungan yang sebanyak-banyaknya.
Istilah kapitalisme sendiri berawal dari negarawan dan sejahrawan Perancis
beraliran sosialis Louis Blanc (1881-1882). Paham ini berkembang sejak abad ke
11, ketika perdagangan internasional mulai dilakukan, ia lahir setelah
ditemukan mesin di eropa setelah revolusi industri. Kapitalisme merupakan
sistem ekonomi paling menonjol dewasa ini yang membentuk sistem ekonomi dunia.
Konsep kapitalisme tentang manusia diwakili dengan baik oleh filsafat
Idealisme. Idealisme adalah suatu ajaran/faham atau aliran yang menganggap
bahwa realitas ini terdiri atas roh-roh (sukma) atau jiwa, ide-ide dan pikiran
atau yang sejenis dengan itu. Aliran ini merupakan aliran yang sangat penting
dalam perkembangan sejarah pikiran manusia. Filsafat ini berkembang dari ajaran
filsafat Yunani seperti Plato yang menyatakan bahwa alam, cita-cita itu adalah
yang merupakan kenyataan sebenarnya. Adapun alam nyata yang menempati ruang ini
hanyalah berupa bayangan saja dari alam idea itu. Selain itu juga Aristoteles
memberikan sifat kerohanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide
sebagai sesuatu tenaga (entelechie) yang berada dalam benda-benda dan
menjalankan pengaruhnya dari benda itu. Sebenarnya dapat dikatakan sepanjang
masa tidak pernah faham idealisme hilang sarna sekali. Di masa abad pertengahan
malahan satu-satunya pendapat yang disepakati oleh semua ahli pikir adalah
dasar idealisme ini.
Pada jaman Aufklarung ulama-ulama filsafat yang mengakui aliran serba dua seperti Descartes dan Spinoza yang mengenal dua pokok yang bersifat kerohanian dan kebendaan maupun keduanya mengakui bahwa unsur kerohanian lebih penting daripada kebendaan. Beberapa tokohnya adalah Plato (477 -347 Sb.M), B. Spinoza (1632 -1677), Liebniz (1685 -1753), Berkeley (1685 -1753), Immanuel Kant (1724 -1881), J. Fichte (1762 -1814), F. Schelling (1755 -1854), dan G. Hegel (1770 -1831).
Pada jaman Aufklarung ulama-ulama filsafat yang mengakui aliran serba dua seperti Descartes dan Spinoza yang mengenal dua pokok yang bersifat kerohanian dan kebendaan maupun keduanya mengakui bahwa unsur kerohanian lebih penting daripada kebendaan. Beberapa tokohnya adalah Plato (477 -347 Sb.M), B. Spinoza (1632 -1677), Liebniz (1685 -1753), Berkeley (1685 -1753), Immanuel Kant (1724 -1881), J. Fichte (1762 -1814), F. Schelling (1755 -1854), dan G. Hegel (1770 -1831).
Inti dari idealisme ini adalah bahwa diluar materi, terdapat pula roh atau
ide, gagasan, rasio, dan sebagainya. Ini adalah proyek lanjutan dari Cogito
ergo sum yang berarti aku berpikir maka aku ada. Dari idealisme yang dipelopori
oleh Socrates dan Plato, pada akhir abad pertengahan dilanjutkan dengan proyek
rasionalisme yang dipelopori oleh Rene Descartes.
Seiring dengan berkembangnya pemikiran, idealisme lantas bertransformasi
menjadi rasionalisme. Rasionalisme adalah paham yang mengatakan bahwa akal
(reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes
pengetahuan. Rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara
berpikir. Alat dalam berpikir itu adalah kaidah-kaidah logis. Singkatnya, akal
lah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan dikur
dengan akal. Manusia, menurut aliran ini, memperoleh pengetahuan melalui
kegiatan akal menangkap objek.
Pada masa selanjutnya, terjadi pengembangan ke arah empirisme. Kata
empirisme berasal dari bahasa Yunani empirikos, empiria yang berarti
pengalaman. Menurut aliran ini, manusia memperoleh pengetahuan melalui
pengalamannya; pengalaman inderawi. Tapi bagaimana pun, empirisme ini memiliki
sejumlah kekuarangan. Pertama, indera terbatas. Benda yang letaknya jauh dari
mata terlihat kecil, meskipun sejatinya benda tersebut besar. Kedua, indera
menipu. Dalam kondisi sakit, seseorang akan merasa gula itu pahit meskipun
sesungguhnya manis. Ketiga, objek bisa menipu indera seperti fatamorgana.
Keempat adalah kelemahan indera sekaligus objek. Mata tidak mampu melihat
kerbau secara keseluruhan; yang tampak hanya bagian depan, samping saja
sedangkan bagian belakangnya tidak tampak. Pada saat yang sama, kerbagu sebagai
objek juga tidak mampu menunjukkan dirinya secara utuh kepada indera.
Namun pada akhirnya, muncul kerja sama antara rasionalisme dan empirisme
yang memunculkan positivisme. Singkat kata, pengetahuan harus bersifat logis
dan mempunyai bukti empiris. Pandangan-pandangan tentang manusia pun harus
bersifat logis dan dapat dibuktikan secara empiris.
Dapat disimpulkan bahwa materialisme memandang kejasmanian (materi) sebagai
keseluruhan manusia, padahal itu hanyalah aspek manusia. Materialisme memandang
manusia hanyalah sesuatu yang ada, tanpa menjadi subjek. Manusia berpikir dan
berkesadaran; inilah yang tidak disadari oleh materialisme. Akan tetapi,
sebaliknya, aspek ini (berpikir dan berkesadaran) dilebih-lebihkan oleh
idealisme sehingga menjadi keseluruhan manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi
sampai tidak ada barang lain selain pikiran. Alhasil, letak kesalahan idealisme
ialah karena memandang manusia hanya sebagai subjek, hanya sebagai kesadaran.
Letak kesamaan keduanya adalah sama-sama mendewakan materi.
3.
Manusia dalam
Konsep Islam
Islam memiliki konsep yang begitu paripurna tentang manusia. Al-Qur’an
secara baik menginformasikan mulai dari proses penciptaan manusia, hak dan
tanggung jawabnya di dalam kehidupan di dunia hingga tahap kematian dan
kehidupan setelah mati; dimana manusia akan mendapatkan timbangan amalnya
masing-masing. Terkait dengan proses penciptaan manusia itu, Allah SWT
menjelaskan runtutan kronolgis penciptaan manusia ”Dan sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.
Kemudian Kami jadikan saripati (nutfah) itu air mani (yang disimpan) dalam
tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani (nutfah) itu Kami jadikan segumpal
darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging (mudghah), dan
segumpal daging (mudghah) itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang
belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (Al-Mu’minun:
12-14).
Secara sederhana, siklus manusia di dunia dirumuskan dalam satu kalimat “Inna
lillahi wa inna ilaihi raji’un”, Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan
pasti akan kembali kepada-Nya. Meski terkesan sederhana, rumusan tersebut
sesungguhnya menjawab persoalan penting tentang dari mana manusia itu berasal
dan akan kemana manusia itu terakhir berlabuh. Pada akhirnya, tempat kembali
manusia adalah kepada Tuhan. Ini jelas berbeda dengan pandangan materialisme
dan idealisme yang mengakui hanya alam inilah yang ada; tidak ada kehidupan
setelah kehidupan ini.
Secara umum, Islam menjelaskan bahwa manusia terdiri atas dua unsur, yakni
materi dan immateri atau jasmani dan Rohani. Allah SWT meniupkan ruh ke dalam
jasad manusia segera setelah sempurna proses penciptaannya. Allah SWT
berfirman, “Maka apabila Aku telah menyempurnakan
kejadiannya dan Aku tiupkan kepadanya ruh-Ku” (QS. Al Hijr (15): 29).
Menurut Imam Al Ghazali, maksud dari kata sempurna dalam ayat tersebut adalah
ketika sel benih telah memenuhi persyaratan untuk menerima ruh atau nafs
tersebut. Tubuh manusia berasal dari tanah dan ini termasuk materi, tapi
manusia juga mempunyai ruh atau jiwa yang berasal dari substansi imateri di
alam gaib. Tubuh pada akhirnya akan kembali menjadi tanah dan jiwa akan pulang
ke alam Gaib.
Allah SWT berfirman: “Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang
kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan
kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah,
kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna,
agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami
kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu
sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada
kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu
yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi
sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering,
kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan
suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.(QS 22:
5).
Berbeda dengan paham sosialisme dan kapitalisme yang mengagungkan materi,
menurut Syaikh Yusuf al Qardhawi, unsure material dan immaterial dalam diri
manusia harus seimbang. Seseorang tidak boleh mengurangi hak-hak tubuh
untuk memenuhi hak ruh, dan sebaliknya juga tidak boleh
mengurangi hak-hak ruh semata untuk memenuhi hak tubuh.
Setelah itu, tatkala dilahirkan, otak dan bentuk fisik manusia yang tidak
tahu apa-apa diberi oleh Allah pancaindera dan hati agar ia kelak dapat
bersyukur atas pemberian itu. Allah berfirman,“Dan Allah mengeluarkan kamu
dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi
kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An Nahl:
78).
Di dalam sejarah pemikiran Islam, pandangan mendasar tentang manusia bisa
ditemukan di dalam filsafat Islam dan tasawuf. Filsafat Islam dan tasawuf pada
umumnya memandang manusia terdiri dari dua substansi; substansi yang bersifat
materi (badan/jasmani) dan substansi yang bersifat immateri (jiwa), dan bahwa
hakikat manusia adalah substansi immaterialnya. Ketinggian dan kesempurnaan
manusia diperoleh dengan memfungsikan substansi immaterialnya itu, dengan jalan
mempertajam daya-daya yang dimilikinya. Filsafat menggunakan kata an
nafs untuk substansi immaterial tersebut. Sementara di dalam tasawuf,
untuk menunjuk substansi immaterial tersebut digunakan kata ruh dan qalb.
Menurut Harun Nasution, manusia tersusun dari unsur materi dan imateri,
jasmani dan rohani. Dalam Ruh atau jiwa terdapat apa yang yang
disebut al-nafs. An nafs ini mempunyai dua daya, daya pikir yang
disebut akal yang berpusat di kepala dan daya rasa yang berpusat di kalbu yang
berpusat di dada. Daya rasa yang berpusat di dada dipertajam dengan ibadah
(shalat, puasa, haji, zakat), karena intisari dari semua ibadah dalam islam
adalah mendekatkan diri kepada Tuhan yang maha Suci. Yang maha Suci hanya dapat
didekatkan oleh ruh yang suci. Ibadah adalah latihan menyucikan ruh atau jiwa.
Semakin sering seseorang beribadah dengan landasan ihlas semakin suci pula jiwa
dan ruhnya. Sementara itu, daya pikir atau akal berpusat di kepala. Daya rasa,
jika diasah dengan baik, mempertajam hari nurani dan daya pikir, jika dilatih,
mempertajam penalaran.
4.
Struktur dan
Hakikat Manusia
Menurut Imam Ghazali, manusia itu terdiri atas tiga hakikat dan struktur
eksistensi, yakni ruh, nafs (jiwa), dan jism (tubuh). Senada dengan
itu, Jalaluddin Rakhmat mengatakan sebagaimana pada makrokosmos terdapat tiga
tingkatan alam: ruhani, khayali, dan jasmani, pada manusia, ketiga alam ini
diwakili oleh ruh, nafs (jiwa), dan jism (tubuh).
Tingkatan alam ini menunjukkan sejauh mana ia menyerap cahaya Tuhan. Ruh adalah
bagian yang paling terang, dan jism adalah bagian yang paling gelap. Nafs (jiwa)
adalah jembatan yang menghubungkan jism dan ruh. Setiap orang mempunyai nafs
yang berbeda. Ada nafs yang lebih dekat dengan ruh; dan ada nafs yang sangat
jauh dari ruh. Pada sebagian orang, nafs-nya bersinar dan bergerak naik menuju
wujud yang hakiki, yakni Tuhan. Pada sebagian orang lagi, nafs-nya sangat gelap
dan bergerak turun menjauhi Tuhan, menuju ‘ketiadaan’. Nafs adalah “barzakh
yang selalu berubah.”
a.
Ruh
Terkait dengan masalah ruh ini, Allah SWT berfirman: “(Ingatlah)
ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan
manusia dari tanah. Maka bila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan
kepadanya ruh-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.
Lalu malaikat itu bersujud semuanya.” (QS. 38:71-73). Namun, mengenai
apa itu hakikat ruh, Allah berfirman: “Dan mereka bertanya kepadamu
(Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan
kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.” (QS. Al-Isra’: 85).
Menurut Imam Al Ghazali, ruh adalah panas alam (al-hararat
al-ghariziyyat) yang mengalir pada pembuluh-pembuluh nadi, otot-otot dan
syaraf. Ruh bukanlah esensi manusia, karena ia juga ada pada binatang selain
manusia. Ruh adalah pembawa hidup. Al Ghazali juga menyebut ruh sebagai
sejenis uap yang sangat halus berpusat di rongga jantung dan penyebar ke
seluruh tubuh melalui syaraf dan pembuluh nadi. Ia bertempat di dalam
organ-organ tubuh secara menyeluruh. Melengkapi keterangan di atas, Jalaluddin
Rakhmat berpendapat bahwa ruh berasal dari alam arwah dan memerintah dan
menggunakan jasad sebagai alatnya. Ruh, lanjut Jalal, berasal dari tabiat Ilahi
dan akan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan kepada Allah
dan tetap berada dalam keadaan suci. Karena ruh bersifat kerohanian
dan selalu suci, maka setelah ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia
tetap suci. Ruh di dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang
baik dan mulia. Ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan terpuji.
b.
Nafs
Kata an nafs disebut dalam al-Qur’an dalam 295 ayat. Dari
sekian banyak penyebutan itu, kataan nafs, memiliki banyak makna.
Menurut Imam Al Ghazali, nafs adalah substansi yang berdiri sendiri dan tidak
bertempat. Imam Al Ghazali mengklasifikasi nafs menurut tiga tingkatan: an
nafs an-nabatiyah (jiwa tumbuh-tumbuhan atau jiwa vegetatif), an
nafs al hayawaniyyat ( jiwa hewani) serta jiwa insani atau rasional (an
nafs an-natiqah). Jiwa vegetatif memiliki tiga daya yakni al
ghadziyat atau daya nutrisi, al-munmiyat atau daya
tumbuh, dan al-muwallidat atau daya reproduksi. Berarti,
dengan jiwa vegetatif ini badan manusia berpotensi makan, tumbuh dan
berkembang biak.
Sementara itu, dengan jiwa hayawaniyat manusia memiliki
daya untuk mengetahui hal-hal yang kecil dan daya merasa. Tingkatan
tertingginya adalah jiwa insani atau jiwa rasional yang dengan itu
manusia mempunyai kelebihan dari segi daya berfikir. Para filosof dan sufi
memandang jiwa ini sebagai hakekat atau pribadi manusia, karena dengan potensi
itu manusia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang khusus,
mengetahui Dzatnya dan Penciptaannya.
Jalaluddin Rakhmat menambahkan, karena pada diri manusia tidak hanya
memiliki jiwa insani (berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa
(nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat yang
tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia mempunyai sifat yang
beraneka sesuai dengan keadaannya. Allah SWT berfirman: “…dan nafs
(jiwa) serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada nafs
itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikannya (zakkaha), dan sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya.” (QS. 91: 7-10). Apabila jiwa menyerah dan patuh pada
kemauan syahwat dan memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu
sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang menyuruh
berbuat jahat. Di dalam Al-Qur’an, melalui lisan Nabi Yusuf, dikatakan: “Aku
tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.
Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 12:
53).
Akan tetapi, apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat yang
tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah).
Dalam hal ini Allah menegaskan, “Hai jiwa yang tenang, kembalilah
kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Dan masuklah
kedalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam Surga-Ku.” (QS.
89: 27-30).
Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah dijamin Allah langsung masuk surga.
Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan ruh. Ruh bersifat
Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan terpuji, dan ia hanya mempunyai
satu sifat, yaitu suci. Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang
ambivalen. Allah sampaikan, “Demi jiwa serta kesempurnaannya,
Allah mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan.” (QS.91:7-8).
Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karena itu jiwa terletak
pada perjuangan baik dan buruk.
Dalam tradisi tasawuf, jiwa muthmainnah digapai manakala seseorang terbebas
dari memperturutkan hawa nafsu, lalu menemukan kedamaian dan ketenteraman dalam
kebajikan dan kepatuhan kepada Tuhannya.
c.
Jism (tubuh)
Terkait dengan jism ini, Allah mengatakan bahwa jism itu dibuat secara
terbaik. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”(QS. 95: 4). Tubuh atau jism adalah
bagian yang paling tidak sempurna pada manusia. Ia terdiri atas unsur-unsur
materi, yang pada suatu saat komposisinya bisa rusak. Oleh karena itu, ia tidak
mempunyai sifat kekal. Di samping itu, jism atau tubuh juga
tidak mempunyai daya sama sekali. Ia hanya mempunyai apa yang disebut Al
Ghazali sebagai mabda’ thabi’i (prinsip alami) yang
memperlihatkan bahwa ia tunduk pada kekuatan-kekuatan diluar dirinya. Tegasnya,
tanpa ruh dan an-nafs, jism atau tubuh ini tak
lain hanyalah benda mati.
5.
Manusia Sempurna
Islam, melalui ayat-ayat al-Qur’an, telah mengisyaratkan tentang
kesempurnaan diri manusia, seperti antara lain disebutkan, “Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam sebaik-baiknya kejadian. Kemudian kami
kembalikan ia ke derajat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang
beriman dan melakukan amal salih” (QS At Tin: 4-6). Kesempurnaan demikian
membuat manusia menempati kedudukan tertinggi di antara makhluk yani menjadi
khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi, seperti dikatakan oleh ayat: “Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi…”(QS. Al Baqarah: 30).
Kedudukan tersebut pertama kali ditempati oleh Nabi Adam sebagai bapak manusia.
Allah berfirman, “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya” (QS
Al Baqarah: 31).
Kesempurnaan Adam itu, sebagaimana diisyaratkan oleh Hadits riwayat Muslim,
disebabkan pada dirinya Tuhan menampakkan kesempurnaan-Nya secara actual.
Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim ini adalah: “Apa bila salah seorang kamu
menyerang (memukul) saudaranya, hendaklah ia menghindari mukanya, karena Allah
menciptakan Adam sesuai dengan citranya (Fa innallaha khalaqa adama ‘ala
suratiihi). Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman: “Dan sungguh kami
telah memuliakan anak cucu Adam, dan kami angkut mereka di daratan dan di
lautan, dan Kami telah memberikan rezeki yang baik kepada mereka, dan Kami
telah lebihkan mereka di antara makhluk-makhluk yang telah kami ciptakan
dengan kelebihan yang sempurna” (QS. Al Isra’[17]: 70)
Meskipun manusia memiliki potensi kesempurnaan, sebagai gambaran dari citra
ilahi, tetapi kemudian bila mana ia menjauh dari prototipe ketuhanan, niscaya
kesempurnaan itu kian berkurang. Untuk itu, jalan satu-satunya mencapai kesempurnaan
itu ialah dengan kembali kepada Tuhan melalui iman dan amal shalih.
Bagian ini akan memperlihatkan betapa terdapat perbedaan orientasi yang
begitu tajam antara Islam, kapitalisme dan sosialisme. Sementara kapitalisme
dan sosialisme memandang materi sebagai pusat kebahagiaan manusia, maka dalam
Islam kebahagiaan sejati adalah menjadi manusia sempurna (insan kamil/ perfect
man). Tujuan hidup seorang Muslim adalah menjadi manusia sempurna.
Istilah Insan kamil (al Insan al Kamil) terdiri atas dua kata: al
insane yang berarti manusia dan al kamil yang berarti sempurna. Meskipun
istilah sempurna bila disematkan pada manusia bisa berarti kesempurnaan pada
dua sisi yakni fisik dan ruhaniyah, namun dimensi rohani inilah yang sering
dituju. Hal ini karena kesempurnaan rohani lah yang paling dominan dalam
menentukan perjalanan hidup manusia. Istilah ini secara teknis muncul dalam
literature Islam pada sekitar awal abad ke-7 H/ 13 M atas gagasan Ibn Arabi (w.
638H/1240M) yang dipakainya untuk melabeli konsep manusia ideal yang menjadi
lokus penampakan diri Tuhan.
Menurut Murtadha Muthahhari, kata kamil yang berarti sempurna (perfect)
tidak identik dengan kata tamam yang berarti lengkap (complete),
kendatipun keduanya berdekatan dan mirip. Kata lengkap mengacu kepada sesuatu
yang disiapkan menurut rencana seperti rumah atau masjid. Bila suatu
bagiannya belum selesai, maka bangunan itu dikatakan tidak lengkap atau
kurang lengkap. Akan tetapi, sesuatu itu mungkin saja lengkap namun masih ada
kelengkapan lain yang lebih tinggi satu atau beberapa tingkat; itulah yang
disebut kamil. Lengkap adalah kemajuan horizontal ke arah pengembangan yang
maksimum, sedang sempurna adalah penanjakan vertikal ke tingkat maksimum yang
mungkin.
Bila berbicara tentang kearifan atau pengetahuan sempurna, ini sesungguhnya
mengacu ke tingkatan kearifan atau pengetahuan yang lebih tinggi dari yang
sudah ada. Ketika kesempurnaan tercapai, masih ada tingkat-tingkat kesempurnaan
yang lebih tinggi lagi sebelum sampai pada kesempurnaan yang sesungguhnya.
Dari pengertian istilah yang dikemukakan oleh Muthahhari tersebut di atas
terlihat bahwa kesempurnaan itu bertingkat. Dengan demikian, bila suatu
kesempurnaan tercapai, maka masih ada kesempurnaan di atasnya, sampai pada
tingkat kesempurnaan yang sesungguhnya. Jika ada manusia sempurna, maka tentu
ada yang lebih sempurna. Dan kesempurnaan yang sesungguhnya hanya ada pada Yang
Mahasempurna.
Apa yang dimaksud dengan menjadi manusia sempurna? Imam al Ghazali
menjelaskan bahwa kesempurnaan manusia adalah yang sesuai dengan substansi
esensialnya, yakni an nafs. Tujuan hidup manusia, dengan demikian,
adalah kesempurnaan jiwa. Karena jiwa mempunyai kemampuan dasar mengetahui,
maka kesempurnaannya adalah ketinggian tingkat kemampuan untuk mengetahui. Al
Ghazali menyebut akal mustafad sebagai tingkat kemampuan akal
yang tertinggi, yang dengan itu manusia bisa mengenali Tuhannya. Dengan
melakukan hal yang demikian, berarti akal telah memperoleh sebuah keutamaan
yang disebutnya sebagai al hikmah.
Pada dasarnya, al hikmah sendiri terbagi menjadi dua, yakni al
hikmah al-‘ilmiyyat al-nadhariyyat(kebijaksanaan teoritis) dan al
hikmah al khuluqiyah (kebijaksanaan praktis). Yang pertama merujuk
kepada pengetahuan-pengetahuan abstrak yang diyakini, bersifat tetap dan
universal, seperti pengetahuan tentang Tuhan, sifat-sifat-Nya serta adanya
kebahagiaan dan kesengsaraan di akhirat. Sedangkan yang kedua merujuk kepada
terciptanya perilaku kebajikan dan kebaikan atau akhlak karimah.
Dengan kata lain, manusia sempurna adalah manusia yang di satu sisi dengan
akal atau jiwanya mampu mengenali dan dekat kepada Tuhan dan pada saat yang
bersamaan dengan tubuhnya yang memiliki akhlak-akhlak terpuji. Tujuan utama
manusia sempurna yang demikian itu adalah terperolehnya kebahagiaan di akhirat.
Mengapa kebahagiaan hidup di ahirat? Begini. Esensi manusia adalah terletak
pada jiwanya, dan daya yang terpenting pada jiwa adalah mengetahui
hakikat-hakikat. Tuhan sendiri merupakan sumber segala pengetahuan dan hakikat.
Hakikat yang mutlak adalah Tuhan. Pengetahuan yang sempurna tentang Tuhan
dicapai dengan kesempurnaan esensi manusia.
Al Ghazali berpandangan bahwa kesempurnaan esensi manusia tidak dapat
dicapai di dunia karena badan manusia dan kebutuhan-kebutuhan yang lain menjadi
penghalang bagi jiwa untuk menyempurnakan dirinya. Setelah jiwa manusia
terpisah dari badan, barulah jiwa dapat kembali kepada kesucian dan
kesempurnaannya. Sehingga, pada gilirannya ia mampu semua hambatan untuk
mengenali Tuhan menjadi hilang. Dengan kata lain, perpisahan jiwa dengan badan
membuat pengetahuan tentang Tuhan mencapai kesempurnaannya. Itulah sebabnya,
kebahagiaan di akhirat dalam artian mengenal Tuhan secara penuh merupakan
kebahagiaan yang hakiki. Disebut demikian karena mengenal Tuhan adalah kebahagiaan
pada dirinya, bukan karena sesuatu yang lain. mengenal Tuhan merupakan fitrah
manusia dan kesempurnaan demikian hanya tejadi di akhirat ketika manusia
mendapatan kebahagiaan tertinggi dengan melihat Tuhannya di akhirat, yang oleh
al Ghazali dikatakan sebagai an-nazhr ila jamal al haq.
Untuk mencapai insan kamil itu, menurut Abdul Shamad al-Palimbangi
diperlukan usaha-usaha untuk menaklukkan hawa nafsu dalam rangka mencapai
makrifat tertinggi. Selain itu, menurutnya, ada sepuluh maqaam yang harus ditempuh
untuk menjadi demikian, yaitu: tobat, takut dan cemas (al khauf wa raja’),
zuhud, sabar, syukur, ikhlas, tawakal, cinta, ridho, dan mengingat mati.
Kesepuluh sifat tersebut adalah sifat-sifat terpuji dalam pengertian ketaatan
kepada Allah. Setelah menempuh kesepuluh maqam itu, barulah ia akan sampai
kepada makrifat yang sebenarnya, sehingga ia fana dalam makrifat tersebut.
setelah itu, ia mencapai tingkatan sempurna dan dikatakan sebagai insane kamil.
Jika demikian, tak salah bila dikatakan bahwa mengenal diri adalah dasar
untuk mengenal Tuhan. Sebagaimana diungkapkan sebuah Hadits: “Barangsiapa
mengenal dirinya, niscaya akan mengenal Tuhannya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar